Sabtu, 20 Juli 2019

Warga Peduli Jakarta Menyuarakan Slogan #GantiGabener


Kegerahan warga Jakarta tampaknya akan selalu menjadi mimpi buruk bagi Gubernur Anies Baswedan. Namun apalah arti mimpi buruk, jika yang bersangkutan mampu menjaga asa, bahwa mimpi buruk itu akan diubahnya menjadi mimpi indah.

Demikianlah yang selalu kita simak dari keseharian Anies, tampak optimis dengan rangkaian diksi-diksi yang membuai warga. Meskipun telah hampir dua tahun Jakarta di bawah komandonya, hingga muncul deklarasi #2022GantiGabener oleh sebagian aktifis yang menamakan diri Warga Peduli Jakarta, tampaknya optimisme Anies tetap terjaga.


Narasi yang mengemuka dalam deklarasi aktifis itu menggambarkan bahwa mereka tak bisa lagi membiarkan warga menjadi korban janji-janji Palsu. Alasan yang paling kuat adalah munculnya IMB bagi ratusan bangunan di lahan reklamasi pantai utara Jakarta.

Namun sepertinya alasan itu bukanlah satu-satunya yang mengemuka. Program OKE OCE yang dianggap gagal karena menjadi satu paket dengan terpilihnya pasangan Anies, tak luput dari serangan aktifis.

Haidar Alwi sebagai penggagas deklarasi mengungkapkan, bahwa warga Jakarta ingin tidak tertipu dengan slogan-slogan, lip service dan janji-janji manis.

Mencermati fenomena kegagalan gaya kepemimpinan Anies Baswedan, muncul anggapan yang mulai menyeruak di media-media sosial, seolah-olah individu Anies adalah representasi dari kondisi keseluruhan pemimpin-pemimpin di Timur Tengah. Kalimatnya sangat menohok, “Melihat Gaya kerja Anies, kitapun paham kenapa negara Arab sibuk berperang”. Sebaliknya terkait dengan gemilangnya gaya kepemimpinan Ahok, netizen memahaminya sebagai cara general dari kondisi negara China secara keseluruhan, yang mana negara itu berjaya karena menggunakan falsafah yang sama yang dipraktekkan oleh Ahok.

Meskipun penilaian tersebut tidak sepenuhnya bisa kita gunakan untuk menggambarkan gaya kepemimpinan kedua individu tersebut, namun faktanya memang terlalu kentara, bahwa Anies Baswedan selama ini tidak terlihat piawai memobilisasi potensi warga Jakarta.


Mungkin karena terjebak oleh prinsip yang dijanjikannya ketika kampanye, bahwa dia akan membawa Jakarta lebih humanis, meskipun di sana-sini warganya melakukan banyak pelanggaran, dia tidak akan menerapkan tindakan seperti ditunjukkan oleh pendahulunya yang garang.

Anies lupa, bahwa bukan hanya Ahok yang bersikap galak kepada warganya, karena cara itu semata-mata untuk menegakkan disiplin mereka. Barangkali untuk batas-batas yang masih bisa ditolerir, dia boleh saja memberikan maaf kepada para pelanggar. Namun sekiranya harus menerapkan tindakan yang lebih keras, tak ada salahnya funishment menjadi pilihan terbaik.

Memimpin itu bisa digunakan untuk ajang pendidikan, kalau Anies berlatar belakang pendidik, seharusnya dia pun piawai memimpin dengan menggunakan metode pendidikan. Adapun metode mendidik yang sangat baik adalah melalui contoh. Sangat disesalkan jika warga selama ini kerap menjumpai contoh yang tidak konsisten.

Ibarat pepatah, lain dulu lain sekarang, tampaknya hal itulah yang sedang ditunjukkan oleh Gubernur kepada warganya. Ketika masa kampanye demikian kencangnya suara untuk menghentikan reklamasi. Tentu saja anggapan menghentikan itu adalah termasuk mengembalikan lahan reklamasi seperti sebelum dilakukannya aktifitas tersebut.

Kalau sekarang diartikan secara sepihak, bahwa yang dimaksudkan penghentian itu adalah tidak melanjutkannya untuk sisa laut yang belum terlanjur ditimbun, hal itu bisa diartikan sebagai tak ada perbedaannya dengan meminta pemimpin selain dirinya untuk melakukannya.

Apa perlunya mengganti Gubernur, jika tidak ada terobosan yang lebih menjanjikan sebagaimana yang telah dibuktikan oleh pejabat lama ? Apakah bayaran politik seperti itu telah dianggap cukup ketika hanya dengan menghentikan reklamasi, maka berarti janji-janjinya telah terpenuhi ?

Lebih jauh lagi, apakah warga tidak menganggapnya sebagai asal bunyi, ketika menamakan kebijakannya sebagai perbaikan dari gagasan pejabat lama, dengan hanya mengganti nama istilah lama menjadi nama baru ? Pertanyaan itu perlu diungkapkan, karena warga cukup akrab dengan gaya sang Gubernur membuat istilah baru untuk hal yang setali tiga uang dilakukan oleh Gubernur lama.

Sangat logis ketika mereka tak lagi bisa menyimpan kegelisahannya, karena jejak yang mereka lihat pada pejabat lama, sangat jauh pencapaiannya dengan yang disaksikannya saat ini. Repotnya mereka merasa dibohongi dengan janji-janji yang dahulu menjadi andalannya sebagai amunisi melawan cagub petahana.

Jika kita kaitkan dengan narasi dalam ajang pilpres, yang mana kubu yang sama meneriakkan slogan #GantiPresiden, maka menjadi terasa setimpal dengan slogan yang mirip, namun dialamatkan kepada dirinya sendiri sebagai pendukung capres oposisi.

Sumber: Seword.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar